Kupang — Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus (YAPENKAR) Kupang mendesak evaluasi menyeluruh terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Oelamasi dalam perkara sengketa lahan kampus yang tengah dibangun kos-kosan milik Andreas Sinyo Langoday. Putusan yang dinilai mengabaikan sejumlah bukti penting itu dipandang tidak sesuai dengan fakta hukum dan rawan menimbulkan preseden buruk dalam sengketa batas wilayah.
YAPENKAR menilai PN Oelamasi mengabaikan bukti kunci berupa keberadaan dua pilar batas wilayah, yakni PBU-041 dan PBU-042, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) RI Nomor 46 Tahun 2022 tentang Batas Daerah Kota Kupang dengan Kabupaten Kupang. Selain itu, mereka juga tidak diberikan kesempatan menghadirkan saksi ahli dalam persidangan.
“Putusan ini bukan hanya melukai keadilan, tapi juga berpotensi melahirkan norma baru yang merugikan Kabupaten Kupang,” ujar penasihat hukum YAPENKAR, Emanuel Pasar, dalam jumpa pers yang digelar di aula lantai empat Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang, Rabu, 30 Juli 2025.
Sebagai konsekuensi, YAPENKAR akan menempuh upaya hukum lainnya dan meminta Pengadilan Tinggi Kupang, Komisi Yudisial, serta Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi terhadap putusan tersebut. Mereka menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam penanganan sengketa pertanahan yang melibatkan batas wilayah administratif.
Dalam perkara bernomor 30/Pdt.G/2025/PN.OLM itu, YAPENKAR menggugat Andreas Sinyo Langoday atas dugaan perbuatan melawan hukum karena membangun kos-kosan di atas lahan seluas 10.686 meter persegi. Lahan tersebut merupakan bagian dari 400.000 meter persegi yang diklaim milik yayasan sejak tahun 1982.
Pemerintah Kota Kupang dalam pernyataannya menyebut bahwa lokasi objek sengketa merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Kupang. Hal ini ditegaskan melalui keberadaan pilar batas dan peta wilayah berdasarkan Permendagri 46/2022. Pembangunan tersebut, menurut mereka, secara hukum tidak sah berada di bawah yurisdiksi Kota Kupang.
Senada dengan itu, Pemerintah Kabupaten Kupang juga mengakui bahwa lahan yang disengketakan berada di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah. Lokasi ini tidak termasuk dalam wilayah Kota Kupang seperti yang diklaim oleh tergugat.
Kehadiran pemerintah dalam jumpa pers tersebut diwakili oleh Camat Kupang Tengah, Kepala Desa Penfui Timur, serta Kabag Hukum Kabupaten Kupang, Novrianto Amtiran. Dari pihak Kota Kupang hadir Camat Kelapa Lima, Lurah Lasiana, Kabag Hukum Paulo Neno, serta perwakilan dari Dinas PUPR Kota Kupang.
Sementara dari YAPENKAR, turut hadir Ketua Yayasan Pater Ubaldus Djonda, SVD, kuasa khusus Pater Egidius Taimenes, SVD, serta tim penasihat hukum. Mereka menyampaikan komitmen untuk terus memperjuangkan hak hukum atas lahan kampus.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena tidak hanya menyangkut hak kepemilikan tanah, tetapi juga menyentuh persoalan batas wilayah dan tata ruang. Sengketa ini juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dan ketegasan hukum dalam mengatasi konflik agraria yang makin sering terjadi.
YAPENKAR berharap, kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah daerah, pengadilan, dan lembaga terkait dalam penanganan perkara sengketa lahan. Kepastian hukum, menurut mereka, harus menjadi fondasi dalam pembangunan dan perlindungan aset lembaga pendidikan.
(Kevin)