banner 468x60
MalakaOpiniProv Nusa Tenggara Timur

Menjadi Politisi yang Baik, Belajar dari Aristoteles

Avatar photo
4365
×

Menjadi Politisi yang Baik, Belajar dari Aristoteles

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ridho Seran

Jurnalis FokusNews.online

banner 468x60

Malaka – Riuh rendah kampanye ada di sekitar kita. Berbagai diskusi, pendapat, imajinasi masa depan, tak terkira terbang berhamburan di sekitar kita. Menghadapi keadaan seperti itu, terkadang muncul pertanyaan di benak kita—setidak-tidaknya saya—untuk apa berpolitik. Salah satu jawaban yang lugu untuk itu barangkali diberikan oleh Aristoteles. Bagi Aristoteles jawabannya sangatlah sederhana; tujuan politik adalah menghantarkan manusia pada hidup yang baik.

Namun, mirisnya, ada oknum politisi yang menggunakan politik untuk mencari uang dengan mengatasnamakan rakyat. Mereka menjadikan rakyat sebagai pion, diputar dengan licik tanpa tahu diri.

Kita melihat dari perspektifnya Aristoteles, di mana, dikatakan bahwa politik itu bertujuan untuk menghantarkan manusia pada hidup yang lebih baik. Untuk mencapai itu, seorang politikus harus paham akan etika dalam berpolitik, sebab tanpa etika dan moral yang baik, maka demokrasi akan menjadi berantakan karena merebut kekuasaan melalui jalur pintas, salah satunya money politik.

Seorang Politisi harus memegang sebuah kebajikan praktis, di mana, Kebajikan praktis adalah nilai moral dengan implikasi politik. Orang dengan kebajikan praktis dapat mempertimbangkan dengan baik apa yang baik, tidak hanya untuk dirinya tapi untuk seluruh penduduknya, dan untuk kemanusiaan secara keseluruhan.

Pertimbangan demikian, menyangkut sesuatu aksi yang patut diambil sekarang dan di sini dengan melihat atau mempertimbangkan kebaikan manusia yang tertinggi yang bisa dicapai di bawah keadaan tertentu, dari situ, teranglah di dalam politik (polis) dan kita bisa mencapai keutamaan ini.

Baca Juga :  Lomba OMNAS 13 Tingkat Provinsi Jawa Timur, SMP Ibrahimy 3 Sukorejo Berhasil Mendapatkan Medali Emas

Tujuan dari menjadi warga negara (atau tujuan dari politik), demikian Aristoteles, memang adalah demi mencapai keutamaan. Karena di dalam politiklah kebiasaan yang memungkinkan adanya keutamaan moral dan tindakan-tindakan bajik bisa dilakukan. Orang yang baik adalah dia yang menggunakan dengan sepenuhnya kealamiahannya yang membedakannya dengan binatang, yakni kepenuhannya dalam mengelaborasi kemampuan berbahasanya menuju keutamaan hidup. Orang yang baik adalah orang dengan keutamaan hidup yang hanya mungkin didapatkan melalui aktivitas langsung terjun di dalam polis.

Alasan bahwa esensi politik adalah hidup yang baik menurut Aristoteles adalah pertama hukum-hukum polis menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, membentuk karakter yang baik, dan menempatkan kita pada keutamaan warga negara. Kedua kehidupan sosial memungkinkan kita untuk meningkatkan kapasitas untuk mempertimbangkan dan dengan kebajikan praktis kita menjadi baik dalam mempertimbangkan sesuatu dengan memasuki arenanya; menjadi warga negara. Bagi Aristoteles, tujuan politik lebih tinggi daripada memaksimalkan keuntungan (utilitas) atau memberikan aturan yang adil untuk mengejar kepentingan individu. Hal ini, sebaliknya, merupakan ekspresi alami kita, sebuah kesempatan bagi berlangsungnya kapasitas manusia, merupakan aspek penting dari kehidupan yang baik.

Baca Juga :  Kades Fafinesu Memberi Dukungan Kepada Inisiatif Masyarakat yang Mengembangkan Potensi Lahan Kering Menjadi Sumber Mata Pencaharian

Tetapi pertanyaan tak urung mengemuka. Tujuan politik yang dipikirkan Aristoteles ini berada dalam sebuah sistem politik yang diskriminatif. Kita tahu, di Yunani Kuno, tempat lahirnya cikal bakal demokrasi itu, tidak semua orang bisa berpartisipasi dalam politik. Setidaknya anak-anak, perempuan, dan budak tidak punya hak suara. Demokrasi di Yunani dengan demikian bisa dikatakan sebagai keadilan di atas keringat dan tenaga beribu budak.

Sebuah keadaan politik yang tidak manusiawi untuk masa depan kita bukan?

Politik yang manusiawi mestinya berangkat dari kesadaran bahwa manusia tidak mungkin selalu benar, sebagaimana juga tidak mungkin selalu salah. Politik tetap harus dianggap sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Tak hanya terkait dengan kepribadian figur, tapi juga sejarah sosial, karakter budaya masyarakat, hingga rimba politik yang sarat “binatang buas”

Sebagai masyarakat yang cinta akan daerahnya, jangan mau diadu, apalagi diputar seperti pion. Masyarakat jangan sampai terbelah rasa kekeluargaan hanya karena politik sesaat.

Sebab, fenomena-fenomena seperti ini mengingatkan kita pada sinetron-sinetron di Televisi, yakni ketika pemeran utama selalu digambarkan dalam satu sisi saja. Tokoh antagonis ditampilkan sebagai orang yang selalu jahat, sedangkan protagonis digambarkan sebagai orang yang selalu baik. Peluang untuk keluar dari dikotomi kaku ini bisa dibilang hampir mustahil. Namanya juga sinetron, keanehan dianggap halal oleh perusahaan asal memuaskan selera konsumen, mendongkrak ratting, lalu berbuah pundi-pundi uang. Begitulah realitas politik kita saat ini.

Baca Juga :  Harmoni Pendidikan dan Penerimaan Peserta didik Baru: Kisah Inspiratif dari SMA Swasta Pelita Karya Kefamenanu

Oleh karena itu, bagi figur-figur yang sedang berusaha menarik perhatian rakyat, sebut saja para Bacabup, untuk selalu menggunakan etika dalam berpolitik, jangan menghina figur lain, sebab itu hanya akan menunjukkan bahwa dirimu tidak pantas menjadi pemimpin. Lebih baik adu visi-misi atau program masing-masing calon pemimpin. Seberapa masuk akal hal itu terealisasi dan seberapa kuat reputasi dan rekam jejak sang politisi. Perdebatan yang menjunjung tinggi akal Budi akan lebih mencerdaskan publik ketimbang nyinyir dan ledekan yang makin mempertebal permusuhan bahkan konflik sosial.

Dengan begitu, kecerdasan politik pun makin terasah, sebab warga memanfaatkan kebebasan berekpresinya di alam demokrasi, bahkan demokrasi akan berkembang lebih sehat karena dipenuhi dengan kajian-kajian diskursus ilmiah atau paling tidak menjadi penonton atau pendengar yang baik.

Sebagai simpatisan politik harus tetap jaga kewarasan, agar bisa mengajak publik untuk bisa berpikir tentang masa depan mereka.

Sebagai akhir, penulis mencoba mengutip sebuah kata indah dari Prof. Frans Magnis Suseno semoga kita sedikit tercerahkan dari apa yang dikatakan oleh sang Profesor,

“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa” demikian katanya

banner 468x60
error: Content is protected !!