JAKARTA – Masyarakat Adat Sihaporas Dan Dolok Parmonangan melakukan audiensi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)di Jl. Medan Merdeka Barat. Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (4 September 2024.)
Lasron Sinurat PB AMAN menyampaikan, adapun tujuan audiensi tersebut untuk memohon supaya Kementerian PPPA turut membantu atas kekerasan yang dialami di dua komunitas masyarakat adat atas penangkapan yang tidak wajar jajaran Polres Simalungun yang mengakibatkan perempuan dan anak menjadi korban.
” Oleh karena itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara berharap atas dukungan Kementerian PPA dalam memenuhi perlindungan hak hak perempuan dan anak-anak di dua komunitas masyarakat adat di simalungun.” ungkap Lasron.
Kedatangan masyarakat adat didampingi Kuasa Hukum Perhimpunan Pembela Mayarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Pengurus Besar AMAN disambut oleh Deputi perlindungan anak dan perlindungan perempuan,
” Mereka mempersilahkan untuk mendengar langsung cerita masyarakat adat dari simalungun atas kejadian yang dialami,Mersy Silalahi yang merupakan istri korban yang dipenjara mengutarakan kekecewaan terhadap tindakan kekerasan dari Polres Simalungun yang menangkap warga sihaporas pada jam 3 pagi di rumah bersama yang berada diwilayah adat Sihaporas.” sambungnya.
Mersy Menceritakan peritiwa ketika tengah terlelap pada Senin (22/7/2024) dini hari, masyarakat adat Sihaporas mengaku dikagetkan kedatangan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Lima orang warga kemudian dibawa paksa dari kampung mereka.
“Mengapa kami diperlakukan seperti teroris. Polisi menangkap suami saya pada jam 3 pagi, tanpa surat panggilan. Dipukuli, disetrum lsitrik. Dan ada anak-anak di situ, menyaksikan bapaknya dipukuli, tentu terluka kan hatinya,” kata Mersi.
Diterangkan baru beberapa jam kemudian mereka mengetahui, kelima orang tersebut ternyata ditangkap oleh Polres Simalungun. Kelimanya adalah Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prando Tamba, dan Dosmar Ambarita.
Mersy mengatakan, suaminya, sudah dua kali mengalami penangkapan padahal memperjuangkan tanah adat leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, yang sudah 11 generasi atau lebih dari 220 tahun diusahai secara turun-temurun. Sebelumnya, September 2019, Thomson, suaminya, bersama Jonny Ambarita, juga mendekam di penjara karena kriminalisasi oleh PT TPL.
Kata Mersy persoalan ini sebenarnya mengenai tanah, namun pekerja Perusahaan Toba Pulp Lestari selalu memprovokasi sehingga pecah konflik horizontal antar-manusia. Ketika pihak perusahaan mengadu ke polisi, maka anggota masyarakat ditangkap, sedangkan dari pihak perusahaan tidak tersentuh. Kasus 2019 dipicu pekerja HUMAS PT TPL bernama Bahara Sibuea. Dan kejadian 2022 serta 2024 diawali tindakan penghasutan terus-menerus oleh pekerja PT TPL Samuel Sardiaman Sinaga.
Marta Manurung, mewakili Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Marta menyampaikan kisah penculikan keluarganya, Sorbatua Siallagan, kakek 65 tahun, pada 22 Maret 2024.
” Sorbatua Siallagan, selaku tetua adat Komunitas keturunan Ompu Umbak Siallagan diculik oleh orang tidak dikenal ketika sedang berbelanja pupuk pertanian. Setelah beberapa jam keluarga menelusuri keberadaannya, diketahui Sorbatua berada di Polda Sumatera Utara. ” jelas Marta.
Pada 14 Agustus 2024 Sorbatua Siallagan divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Ia didakwa menguasai tanah PT TPL, dan membakar hutan.
Velita Deputi Perlindungan Khusus Anak menanggapi dan mengucapkan rasa prihatin atas kejadian yang di alami masyarakat adat di simalungun, mendengar kesaksian para ibu ibu,Velita menegaskan bahwa secara peraturan perundangan dilarang siapa pun melakukan kekerasan terhadap anak,disituasi apapun termasuk melibatkan anak disituasi konflik. Velita menjelaskan dalam pelayan perlindungan anak harus melalui prosedur termasuk kelengkapan data anak anak yang terlibat korban kekerasan serta masalah yang dialaminya, untuk bisa ditindak lanjuti kedepan sesuai yang dibutuhkan dari pelayanan Perlindungan Khusus anak.
Erna dari PPMAN mewakili kuasa hukum masyarakat adat memperjelas bahwa keberpihakan kepolisian tidak ada membela masyarakat ada, Erna menyampaikan sepertinya Polisi bekerja sama dengan TPL sesuai dari keterangan warga aparat kepolisian datang menggunakan mobil TPL, dan pada saat kejadian penangkapan subuh itu pun kepolisian datang menggunakan mobil mobil TPL juga.
” Harusnya pihak kepolisian hadir untuk melindungi masyarakat adat,” ucap Erna.
Lasron juga memohon supaya kasus ini,ditindak lanjuti dengan serius oleh Kementerian PPPA,karena situasi dikampung sangat genting,kepolisian masih datang kewilayah masyarakat adat sihaporas sampai saat ini yang membuat warga takut dan terganggu dalam melakukan aktifitas.
(Herman Nababan)