Oleh: Ridho Seran
Coba lihat ke langit malam, lihat bintang-bintang itu. Kita ini apa? Cuma secuil debu di tengah galaxi yang bahkan tidak kelihatan di peta alam semesta.
Kerajaan-kerajaan besar, runtuh. Gunung-gunung tinggi suatu hari akan terkikis, lalu kita sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting dalam hidup.
Markus Aurelius, seorang kaisar Romawi justru menemukan jawaban ditengah kekacauan. Jika kita membaca Buku catatannya, “Meditation” tentu akan menemukan semacam jurus rahasia untuk tetap waras di dunia yang gila. Inti jurusnya cuma satu, “Bukan Dunia yang Harus Kita Ubah, tapi Cara Kita Memandang Dunia”. Markus Aurelius tidak mengajarkan kita untuk berpasrah, melainkan sebuah seni bela diri mental. Aurelius mengajarkan, bahwa Menerima bukan berarti kalah. Menerima berarti, kita tidak mau menjadi budak dari hal-hal yang diluar kendali kita. Misalnya
1. Menerima Orang lain
Kita dikelilingi oleh berbagai macam karakter; ada yang sumringah, ada yang judesnya kelewatan. Reaksi alamiah kita kalau disakiti, akan balas menyakiti, istilahnya mata ganti mata. Tetapi, Markus Aurelius mengatakan kepada kita, bahwa rasa sakit itu bukan datang dari hinaannya, tetapi dari interpretasi kita atas hinaan itu. Coba bayangkan, ya bayangkan sekarang, jika kamu dihina, perasaanmu bagaimana? Padahal, hinaan orang itu hanyalah suara, sebuah gelombang udara yang keluar dari mulut seseorang yang tidak ada kekuatan sama sekali. Kekuatannya baru akan ada, ketika anda memilih untuk tersinggung, memutar-mutar hinaan itu di kepala, dan akhirnya marah.
Menerima orang lain artinya menerima dengan hati yang tulus, meskipun orang itu brengsek. Tetapi, brengseknya orang itu jangan pernah ijinkan untuk merusak harimu dan hatimu. Secara pribadi, kita harus berhenti mengharapkan orang lain berubah, melainkan fokus mengubah reaksi kita sendiri, karena itu adalah pembebasan.
2. Menerima Kefanaan
Semua hal akan berakhir, Titik!
Kita, kamu, saya, dan mereka, suatu hari nanti akan dilupakan oleh waktu. Kita hanya sebongkah daun yang suatu hari akan gugur. Nha, kesadaran akan hal ini, justru bukan untuk membuat kita sedih, tetapi untuk memaksa kita hidup dengan intensitas yang lebih tinggi. Jika kita sadar, bahwa waktu kita terbatas, maka jangan habiskan waktu buat hal-hal yang tidak penting, apa lagi mendengarkan omongan orang yang penuh dengki dan iri hati,dan jangan menghabiskan waktu untuk mengejar pengakuan yang sifatnya sementara. Kefanaan itu adalah guru terkejam, tapi juga adalah guru terbaik. Kefanaan mengingatkan kita, bahwa hidup manusia sangat singkat di bumi ini, maka jangan sia-siakan.
3. Menerima Kemalangan
Manusia sering berdoa, “Ya Tuhan, jangan beri aku masalah” itu merupakan doa yang salah. Markus Aurelius pernah mengajarkan doa yang baik “Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi masalah apapun yang Tuhan beri”. Inilah inti dikotomi kendali, konsep yang paling powerfull dari Filsafat Stoikisme.
Hal-hal yang diluar kendali kita, misalnya orang lain, cuaca, ekonomi, virus, lalu lintas,dll. Sementara, hal-hal yang dalam kendali kita, Sikap, respon, nilai-nilai, dan tindakan kita.
Kebanyakan kita heboh mengurus hal-hal yang diluar kendali kita. Apa hasilnya? Stres, Frustasi, dan merasa jadi korban. Markus Aurelius mengajarkan kita untuk tetap fokus pada hal-hal yang didalam kendali kita. Sebab, kita tidak bisa mengontrol arah mata angin, tetapi kita bisa mengontrol layar kapal kita, ini adalah kekuatan sejati kita. Bersambung…