banner 468x60
ArtikelKab. KupangProv Nusa Tenggara Timur

Kementerian Haji dan Umrah: Reformasi atau Sekadar Ganti Papan Nama? (Membedah Urgensi Pemisahan dari Kementerian Agama dan Tantangan Pelayanan Jamaah di Era Baru)

Avatar photo
2628
×

Kementerian Haji dan Umrah: Reformasi atau Sekadar Ganti Papan Nama? (Membedah Urgensi Pemisahan dari Kementerian Agama dan Tantangan Pelayanan Jamaah di Era Baru)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Sri Chatun*

Pendahuluan
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung
jawab yang tidak ringan dalam mengelola pelayanan ibadah haji dan umrah. Data Badan Pusat
Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa lebih dari 231 juta penduduk Indonesia beragama
Islam, atau sekitar 87 persen dari total populasi. Setiap tahun, jumlah calon jamaah haji yang
mendaftar terus meningkat, sementara kuota yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi tetap
terbatas. Akibatnya, antrean keberangkatan calon jamaah haji di Indonesia dapat mencapai
belasan hingga puluhan tahun, bahkan di beberapa daerah antrean bisa mencapai 30 tahun.
Fenomena ini menggambarkan betapa besarnya skala manajemen haji di Indonesia dan
kompleksitas penyelenggaraannya.
Sejak berdirinya Kementerian Agama pada tahun 1946, seluruh urusan penyelenggaraan
haji berada di bawah kewenangan kementerian tersebut. Kementerian Agama berperan mengatur
kuota, menyiapkan petugas, melakukan koordinasi dengan Pemerintah Arab Saudi, hingga
mengelola birokrasi keberangkatan jamaah. Namun dalam perjalanannya, urusan haji selalu
menjadi sorotan publik, baik terkait aspek pelayanan maupun pengelolaan keuangan. Kritik yang
muncul berkisar pada masalah transparansi, akuntabilitas, antrean panjang, mahalnya biaya
perjalanan, hingga kualitas pelayanan yang dianggap belum memadai.
Sejarah panjang penyelenggaraan haji di Indonesia menunjukkan bahwa perbaikan
kelembagaan selalu menjadi isu penting. Pada masa kolonial Belanda, urusan haji ditangani
secara represif dengan pengawasan ketat untuk mencegah pergerakan politik Islam.

banner 468x60

Belanda bahkan membentuk Kantoor voor Hadji Zaken pada 1922 untuk mengontrol keberangkatan
jamaah. Di masa pendudukan Jepang, pengelolaan haji sempat terhenti akibat situasi perang.
Setelah kemerdekaan, pengelolaan haji secara resmi berada di bawah Kementerian Agama, yang
saat itu baru dibentuk dengan mandat utama mengurus kehidupan beragama bangsa Indonesia.

Dalam perkembangannya, pengelolaan haji mengalami berbagai reformasi. Misalnya,
pada era Orde Baru, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH) untuk
memisahkan fungsi operasional dari fungsi regulasi. Reformasi besar berikutnya terjadi pada
2014 dengan lahirnya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melalui Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2014. BPKH diberi mandat mengelola dana setoran awal haji yang nilainya
sangat besar dan terus bertambah. Pemisahan ini dimaksudkan agar dana jamaah lebih aman,
produktif, dan transparan.
Namun, meskipun ada reformasi di bidang keuangan, aspek pelayanan jamaah tetap
berada di bawah Kementerian Agama. Dari sinilah kritik mengemuka: pelayanan haji dianggap
tidak fokus, karena Kementerian Agama harus mengurus terlalu banyak bidang, mulai dari pendidikan agama, moderasi beragama, kerukunan umat, hingga penyelenggaraan haji dan
umrah. Beban tugas yang luas ini membuat urusan haji sering kali tidak mendapat perhatian
maksimal.

Faktor lain yang memengaruhi wacana pemisahan adalah politik. Urusan haji di
Indonesia menyangkut dana besar, jumlah jamaah yang masif, serta kepentingan ormas Islam
yang beragam. Penyelenggaraan haji selalu menjadi isu sensitif dan sering disorot oleh DPR, ormas, bahkan media internasional. Setiap kali ada masalah, mulai dari keterlambatan
penerbangan, keterbatasan fasilitas di Arab Saudi, hingga dugaan korupsi, publik langsung
mengkritik pemerintah. Kondisi ini melahirkan kebutuhan akan lembaga khusus yang mampu
menangani haji secara profesional, terfokus, dan transparan.
Pada September 2025, pemerintah akhirnya mengambil langkah bersejarah dengan
membentuk Kementerian Haji dan Umrah. Presiden bersama DPR menyetujui pemisahan
urusan haji dan umrah dari Kementerian Agama, sehingga berdiri sebagai kementerian baru
setingkat menteri. Keputusan ini menimbulkan beragam respons: ada yang optimis, menyebutnya
sebagai langkah maju dalam reformasi birokrasi pelayanan umat; ada pula yang skeptis, menilai
pemisahan hanya akan memperbanyak birokrasi dan anggaran, tanpa jaminan perbaikan substansial.

Dari sudut pandang akademik, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah dapat dilihat
sebagai upaya specialization of function, yakni strategi memfokuskan lembaga negara pada tugas tertentu agar kinerjanya lebih optimal. Teori administrasi publik modern menyebutkan bahwa birokrasi yang terlalu gemuk dan multitugas cenderung kurang efisien, sementara
birokrasi yang fokus pada satu fungsi dapat bekerja lebih efektif (Osborne & Gaebler, 1992;
Denhardt & Denhardt, 2003). Dengan demikian, pembentukan kementerian baru ini dapat dibaca
sebagai bentuk reformasi struktural dalam tubuh birokrasi Indonesia.
Di sisi lain, ada pula risiko yang patut dicermati. Pengalaman di banyak negara
menunjukkan bahwa pembentukan lembaga baru tidak selalu berarti perbaikan. Tanpa komitmen
kuat pada prinsip good governance, lembaga baru hanya akan menambah lapisan birokrasi,
memperbesar anggaran, dan berpotensi menjadi lahan baru patronase politik. Di sinilah relevansi
pertanyaan publik: apakah Kementerian Haji dan Umrah benar-benar reformasi substantif, atau
sekadar “ganti papan nama”?
Oleh karena itu, narasi akademik ini penting untuk menelaah secara lebih dalam urgensi
kelembagaan baru, aspek transparansi dan akuntabilitas, dimensi diplomasi, potensi ekonomi,
serta tantangan yang harus dihadapi. narasi ini bukan hanya bertujuan memberikan analisis kritis,
melainkan juga konstruktif, agar kementerian baru benar-benar membawa manfaat nyata bagi
jamaah haji dan umrah, serta berkontribusi pada reformasi birokrasi di Indonesia.

Urgensi Kelembagaan Baru
Pemisahan urusan haji dan umrah dari Kementerian Agama menjadi sebuah kementerian
tersendiri bukanlah sekadar perubahan struktural birokrasi, tetapi harus dibaca sebagai bagian
dari proses reformasi kelembagaan negara yang berorientasi pada kebutuhan publik. Urgensi pembentukan Kementerian Haji dan Umrah dapat ditinjau dari setidaknya empat aspek utama: volume pelayanan, kompleksitas tata kelola, kepastian regulasi, serta optimalisasi diplomasi dan
ekonomi.
Pertama, volume pelayanan. Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah haji
terbesar di dunia, dengan kuota lebih dari 200 ribu jamaah setiap tahun, dan tambahan sekitar 1
juta jamaah umrah setiap tahunnya. Angka tersebut bukan hanya menggambarkan potensi,
melainkan juga beban tanggung jawab negara dalam memastikan pelayanan yang layak, aman,
dan profesional. Kementerian Agama, dengan spektrum tugas yang sangat luas, mulai dari
pendidikan keagamaan, urusan keluarga, hingga relasi antarumat beragama, sering kali
menghadapi keterbatasan fokus dalam mengelola isu haji dan umrah yang memerlukan perhatian
penuh. Dengan adanya kementerian khusus, negara menegaskan prioritas pelayanan bagi jamaah
sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional.

Kedua, kompleksitas tata kelola. Penyelenggaraan haji dan umrah melibatkan rantai
panjang birokrasi dan kerja sama lintas sektor: pengadaan transportasi, akomodasi, katering,
kesehatan, hingga kerja sama internasional dengan Kerajaan Arab Saudi. Kompleksitas ini
membutuhkan tata kelola kelembagaan yang lebih fokus, ramping, dan profesional, sehingga
dapat meminimalisasi tumpang tindih kewenangan dan praktik birokratis yang berbelit-belit. Kementerian khusus dapat membangun sistem kerja yang lebih adaptif dan responsif terhadap
dinamika yang muncul di lapangan.

Ketiga, kepastian regulasi dan pengawasan. Selama ini, isu penyelenggaraan haji dan
umrah kerap dibayangi oleh problematika transparansi, pungutan liar, hingga kasus-kasus
penyelewengan dana. Dengan berdirinya Kementerian Haji dan Umrah, urgensi utamanya adalah membangun regulasi yang tegas, mekanisme pengawasan yang ketat, serta akuntabilitas yang
jelas di bawah satu atap kelembagaan. Hal ini sejalan dengan tuntutan publik untuk menghadirkan tata kelola haji dan umrah yang bersih, transparan, dan bebas dari praktik koruptif.

Baca Juga :  Dandim 1621/TTS Bacakan Amanat Pangdam IX/Udayana Pada Saat Upacara 17-an. Anggota TNI Harus Hindari Judi Online

Keempat, optimalisasi dimensi diplomasi dan ekonomi. Penyelenggaraan haji dan
umrah bukan hanya urusan domestik, tetapi juga terkait erat dengan diplomasi bilateral dengan
Kerajaan Arab Saudi, serta implikasi ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kehadiran kementerian baru dapat menjadi instrumen diplomasi yang lebih terfokus, memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi kuota, layanan, dan kerja sama strategis. Di sisi lain, sektor ekonomi yang terkait, seperti transportasi, katering, hingga industri halal, dapat ditata secara lebih sistematis untuk mendukung kepentingan nasional.
Dengan demikian, urgensi pembentukan Kementerian Haji dan Umrah bukan hanya pada tataran struktural, tetapi lebih jauh menyangkut efisiensi, efektivitas, dan keberpihakan negara
pada kepentingan jamaah. Kementerian baru ini diharapkan tidak terjebak dalam rutinitas administratif, melainkan mampu menjadi motor reformasi pelayanan publik yang menekankan prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan efektivitas.

Transparansi dan Akuntabilitas

Salah satu kritik paling tajam terhadap penyelenggaraan haji dan umrah di Indonesia adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas. Kasus-kasus penyalahgunaan dana haji, praktik
percaloan, serta pelayanan yang tidak sesuai standar sering kali menjadi sorotan publik. Oleh karena itu, kehadiran Kementerian Haji dan Umrah harus dipandang sebagai peluang untuk
membangun tata kelola baru yang lebih terbuka dan akuntabel.
Secara konseptual, transparansi berarti keterbukaan dalam seluruh proses
penyelenggaraan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dalam konteks haji dan
umrah, transparansi mencakup keterbukaan informasi tentang pengelolaan dana haji, alokasi
kuota jamaah, biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), hingga standar pelayanan yang diberikan. Dengan transparansi, publik memiliki akses yang memadai terhadap informasi penting
sehingga dapat mengawasi jalannya kebijakan.

Akuntabilitas, di sisi lain, menekankan pada kewajiban lembaga untuk
mempertanggungjawabkan kinerja dan keputusan yang diambil. Bagi Kementerian Haji dan
Umrah, akuntabilitas tidak hanya berarti laporan keuangan yang diaudit, tetapi juga mencakup akuntabilitas moral dan sosial terhadap jamaah sebagai pengguna layanan. Setiap rupiah yang
dikeluarkan jamaah, setiap fasilitas yang dijanjikan, dan setiap kebijakan yang diterapkan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Urgensi transparansi dan akuntabilitas ini semakin relevan jika menilik pada tiga alasan pokok:
1. Pengelolaan Dana Haji dan Umrah
Dana haji di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah, yang sebagian besar dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Sementara itu, biaya umrah sebagian besar ditanggung langsung oleh jamaah melalui travel. Tanpa transparansi yang ketat,
ruang penyalahgunaan dana dan ketidakjelasan pengelolaan akan sangat besar.
Kementerian baru memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan pengelolaan dana berjalan secara profesional, dengan mekanisme pelaporan yang terbuka kepada publik.

2. Standar Layanan dan Kualitas Pelayanan
Selama ini, banyak keluhan jamaah terkait kualitas layanan, baik dalam aspek transportasi, akomodasi, maupun konsumsi. Transparansi diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas standar layanan yang dijanjikan dan menerima laporan terkait capaian kinerja pelayanan. Dengan sistem akuntabilitas yang baik, kementerian
dapat mengevaluasi dan memperbaiki layanan secara berkesinambungan.

3. Pencegahan Korupsi dan Maladministrasi
Tanpa sistem pengawasan yang ketat, penyelenggaraan haji dan umrah rentan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kementerian Haji dan Umrah harus mengadopsi prinsip good governance dengan membangun mekanisme audit internal dan eksternal, serta membuka ruang bagi pengawasan publik, termasuk dari masyarakat sipil dan media massa. Dengan begitu, kementerian baru tidak hanya
menutup celah korupsi, tetapi juga membangun kepercayaan publik.
Di era digital, transparansi dan akuntabilitas juga dapat diperkuat melalui transformasi
digital. Sistem pendaftaran online, dashboard keuangan publik, aplikasi pengaduan jamaah, hingga mekanisme pemantauan real-time terhadap layanan di lapangan dapat menjadi inovasi
yang mendukung keterbukaan. Jika dikelola dengan baik, digitalisasi akan menekan potensi praktik penyalahgunaan, sekaligus memberikan pengalaman layanan yang lebih cepat,
sederhana, dan efisien.
Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar jargon administratif, tetapi menjadi pilar utama yang akan menentukan legitimasi keberadaan Kementerian Haji dan
Umrah di mata publik. Tanpa keduanya, kementerian baru ini hanya akan menjadi duplikasi struktur birokrasi yang menambah beban negara. Sebaliknya, dengan menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip kerja, kementerian ini berpeluang menjadi model reformasi
birokrasi sektor keagamaan yang dapat ditiru oleh sektor lain.

Dimensi Diplomasi
Kehadiran Kementerian Haji dan Umrah tidak bisa dilepaskan dari aspek diplomasi internasional. Ibadah haji dan umrah bukan hanya soal pelayanan domestik, melainkan juga
terkait erat dengan kebijakan, regulasi, dan kebijakan politik Kerajaan Arab Saudi sebagai pengelola tanah suci. Dengan demikian, kementerian baru ini memiliki fungsi strategis dalam
memperkuat posisi diplomatik Indonesia di panggung internasional, khususnya dalam konteks hubungan bilateral dengan Arab Saudi dan kerja sama multilateral antarnegara muslim.

1. Diplomasi Kuota Haji dan Umrah
Salah satu isu krusial adalah persoalan kuota haji. Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, selalu menghadapi tantangan keterbatasan kuota yang diberikan oleh pemerintah Saudi. Setiap tahun, ratusan ribu calon jamaah haji terpaksa menunggu giliran selama bertahun-tahun. Kementerian Haji dan Umrah
diharapkan mampu memperkuat daya tawar diplomatik Indonesia dalam negosiasi kuota dengan pemerintah Saudi, melalui strategi diplomasi yang lebih terarah, profesional, dan berbasis data.
Tidak hanya kuota haji, akses umrah juga menjadi bagian penting dari diplomasi. Banyak jamaah yang menghadapi kendala biaya, birokrasi, dan regulasi yang berubah-ubah dari pemerintah Saudi. Dengan kementerian khusus, Indonesia dapat
membangun kanal komunikasi yang lebih intensif dan terfokus dengan otoritas Saudi, sehingga kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak pada jamaah Indonesia.

2. Diplomasi Layanan dan Fasilitas
Selain soal kuota, diplomasi juga mencakup standar layanan dan fasilitas yang disediakan untuk jamaah. Negosiasi terkait kualitas akomodasi, transportasi,
kesehatan, hingga keamanan jamaah membutuhkan pendekatan diplomasi yang sistematis. Kementerian baru dapat berperan sebagai policy actor yang mengawal kepentingan jamaah Indonesia, memastikan mereka mendapatkan pelayanan yang
setara dengan jamaah negara lain.
Diplomasi ini bukan hanya dilakukan di level pemerintah, tetapi juga melibatkan
sektor swasta, seperti penyedia transportasi, katering, dan akomodasi di Arab Saudi.
Dengan mekanisme diplomasi ekonomi, Indonesia bisa memperjuangkan keterlibatan perusahaan nasional dalam rantai pasok penyelenggaraan haji dan umrah, sehingga ada manfaat ganda bagi jamaah dan ekonomi nasional.

3. Diplomasi Multilateral dan Solidaritas Dunia Islam
Kementerian Haji dan Umrah juga dapat memainkan peran dalam diplomasi
multilateral antarnegara muslim. Isu haji dan umrah sejatinya bukan hanya urusan bilateral, melainkan juga mencerminkan solidaritas umat Islam dunia. Indonesia dapat mengambil posisi sebagai pemimpin dalam membangun forum negara-negara pengirim jamaah haji terbesar untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Dengan posisi strategis ini, Indonesia dapat mendorong lahirnya standar global pelayanan haji dan umrah, berbasis prinsip kesetaraan, keadilan, dan perlindungan jamaah. Diplomasi multilateral juga dapat digunakan untuk menekan praktik diskriminasi dan memastikan distribusi kuota yang lebih adil.

Baca Juga :  Wawancara Eksklusif: Usman Husin Berbagi Kasih di Hari Raya Idul Fitri

4. Diplomasi Kultural dan Soft Power
Selain diplomasi formal, penyelenggaraan haji dan umrah juga membuka ruang bagi diplomasi kultural. Jutaan jamaah Indonesia yang berinteraksi dengan umat Islam
dari berbagai negara dapat menjadi agen soft power, memperkenalkan budaya
Indonesia yang ramah, moderat, dan toleran. Peran ini penting dalam memperkuat citra Indonesia sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia, sekaligus memperluas jejaring kerja sama kultural dan keagamaan.
Melalui kementerian khusus, strategi soft power ini dapat dikelola lebih baik,
misalnya dengan program pembekalan jamaah yang menekankan nilai moderasi beragama, budaya gotong royong, dan diplomasi masyarakat (people-to-people diplomacy).

5. Tantangan Diplomasi
Diplomasi di sektor haji dan umrah tidak bebas dari tantangan. Pertama, posisi tawar  Indonesia kerap terhambat oleh kebijakan internal Arab Saudi yang sangat sentralistik dan monopolistik dalam mengatur penyelenggaraan haji. Kedua, persaingan antarnegara pengirim jamaah untuk mendapatkan kuota tambahan sering kali membuat diplomasi bersifat kompetitif, bukan kolaboratif. Ketiga, dinamika politik
kawasan Timur Tengah juga dapat memengaruhi kebijakan haji dan umrah secara tiba-tiba.
Di sinilah pentingnya kementerian baru membangun kapasitas diplomasi yang kuat, dengan sumber daya manusia yang ahli dalam negosiasi internasional, memahami budaya politik Saudi, dan mampu mengembangkan jejaring internasional yang luas.
Diplomasi tidak bisa lagi didekati secara ad hoc, melainkan harus berbasis strategi jangka panjang yang menempatkan kepentingan jamaah sebagai prioritas utama.

Dimensi Ekonomi
Penyelenggaraan haji dan umrah bukan hanya sebuah ritual keagamaan, melainkan juga fenomena ekonomi berskala besar. Setiap tahun, jutaan jamaah Indonesia mengeluarkan dana
yang jumlahnya sangat signifikan untuk membiayai perjalanan ibadah ini. Jika dikelola dengan baik, aliran dana tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi negara. Kehadiran Kementerian Haji dan Umrah menjadi momentum untuk menata potensi ekonomi haji dan umrah agar tidak sekadar “capital outflow” ke luar negeri, tetapi juga memberi dampak positif bagi pembangunan nasional.

1. Skala Ekonomi Haji dan Umrah
Setiap jamaah haji rata-rata mengeluarkan biaya antara 40-60 juta rupiah, sementara jamaah umrah membayar sekitar 25-35 juta rupiah per orang. Dengan kuota haji lebih dari 200 ribu jamaah dan sekitar 1 juta jamaah umrah per tahun, potensi ekonomi yang berputar bisa mencapai lebih dari 50 triliun rupiah setiap tahun.
Angka ini belum termasuk pengeluaran tambahan jamaah untuk konsumsi, belanja, dan oleh-oleh.
Sayangnya, sebagian besar aliran dana tersebut mengalir keluar negeri, khususnya ke sektor transportasi, akomodasi, dan konsumsi yang dikelola perusahaan asing. Tanpa kebijakan yang tepat, penyelenggaraan haji dan umrah justru dapat melemahkan neraca perdagangan Indonesia.

2. Peran Kementerian dalam Ekonomi Nasional
Kementerian Haji dan Umrah dapat mengambil peran strategis untuk mengurangi kebocoran ekonomi dengan memperkuat industri pendukung dalam negeri.
Misalnya, pengadaan katering bisa memanfaatkan produk halal lokal, penyediaan seragam jamaah bisa melibatkan industri tekstil nasional, sementara layanan transportasi dapat bekerja sama dengan maskapai nasional. Dengan cara ini, nilai tambah ekonomi dapat lebih banyak dinikmati di dalam negeri.
Selain itu, kementerian baru dapat mendorong sinergi antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan sektor riil, sehingga dana haji yang besar dapat diinvestasikan pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan jamaah dan masyarakat. Skema investasi berbasis syariah juga bisa diperluas untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

3. Industri Halal dan Pariwisata Religius
Haji dan umrah juga berkaitan erat dengan pengembangan industri halal. Permintaan terhadap produk halal, mulai dari makanan, minuman, kosmetik, hingga farmasi, akan
meningkat seiring dengan pertumbuhan jamaah. Kementerian Haji dan Umrah dapat menjadi katalisator dalam mendorong sertifikasi halal, promosi produk lokal, dan integrasi UMKM ke dalam rantai pasok global penyelenggaraan haji dan umrah.
Selain itu, momentum haji dan umrah juga bisa digunakan untuk mengembangkan pariwisata religius domestik. Banyak jamaah melakukan perjalanan ke berbagai destinasi wisata religi di Indonesia sebelum atau setelah berangkat ke Tanah Suci.
Potensi ini dapat dikembangkan sebagai bagian dari ekosistem ekonomi haji dan
umrah, dengan melibatkan daerah-daerah yang memiliki basis budaya dan sejarah Islam yang kuat.

4. Potensi Ekspor Jasa dan Tenaga Kerja
Dimensi ekonomi lainnya adalah peluang ekspor jasa. Indonesia memiliki sumber daya manusia yang besar di bidang pelayanan, katering, kesehatan, dan perhotelan.
Kementerian Haji dan Umrah dapat memperjuangkan keterlibatan tenaga kerja Indonesia dalam sektor layanan haji dan umrah di Arab Saudi, baik sebagai tenaga kesehatan, pemandu ibadah, maupun staf logistik. Jika dikelola dengan baik, hal ini
bukan hanya memberikan lapangan kerja, tetapi juga menambah devisa bagi negara.

5. Tantangan Ekonomi
Potensi ekonomi ini tidak lepas dari tantangan.

Pertama, lemahnya koordinasi antara kementerian, lembaga, dan swasta sering kali membuat kebijakan tidak efektif.

Kedua, dominasi perusahaan asing dalam rantai pasok membuat keterlibatan industri
nasional masih minim.

Ketiga, regulasi yang belum sinkron sering menjadi hambatan
bagi pelaku usaha lokal untuk masuk dalam ekosistem haji dan umrah.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, kementerian baru perlu membangun kebijakan yang berpihak pada pelaku usaha nasional, mengembangkan regulasi yang pro￾UMKM, serta memperluas kerja sama dengan BUMN dan swasta dalam negeri.
Dengan begitu, penyelenggaraan haji dan umrah tidak hanya memberikan manfaat spiritual, tetapi juga menjadi instrumen penggerak ekonomi nasional.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Meskipun pembentukan Kementerian Haji dan Umrah menandai babak baru dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia, keberhasilan lembaga ini sangat
ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima dimensi utama: kelembagaan, regulasi, pelayanan publik, diplomasi internasional, serta integrasi ekonomi.
1. Tantangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Sebagai lembaga baru, Kementerian Haji dan Umrah menghadapi pekerjaan besar dalam membangun struktur birokrasi yang efektif, efisien, dan profesional. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pemekaran lembaga sering kali menimbulkan masalah tumpang tindih
kewenangan, pemborosan anggaran, dan birokrasi yang lamban.
Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa kementerian ini tidak sekadar menjadi “papan nama baru” dengan menyalin struktur lama, tetapi benar-benar mampu menghadirkan manajemen kelembagaan modern. Penguatan kapasitas sumber daya manusia, rekrutmen berbasis merit, dan pelatihan intensif di bidang manajemen haji-umrah, diplomasi, serta
pelayanan publik menjadi syarat mutlak.

Baca Juga :  Sebagai Penegak Disiplin Provost Kodim 1621/TTS, Dinilai Layak Oleh Dandim

2. Tantangan Regulasi dan Koordinasi Antar-Lembaga
Penyelenggaraan haji dan umrah melibatkan banyak aktor: Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, BPKH, bahkan pemerintah daerah.
Pemisahan kelembagaan berpotensi menimbulkan gesekan kewenangan jika tidak diikuti dengan regulasi yang jelas dan koordinasi yang kuat.
Tantangan besar lainnya adalah menyusun regulasi baru yang mengintegrasikan kepentingan jamaah, swasta, dan pemerintah tanpa menimbulkan ketidakpastian hukum. Tanpa regulasi yang sinkron, Kementerian Haji dan Umrah akan sulit berfungsi optimal, karena penyelenggaraan haji dan umrah menyentuh hampir semua sektor strategis.

3. Tantangan Pelayanan Publik dan Teknologi Digital
Ekspektasi publik terhadap pelayanan kementerian baru sangat tinggi. Jamaah menuntut pelayanan yang cepat, sederhana, transparan, dan bebas pungli. Tantangan ini semakin kompleks
di era digital, di mana masyarakat terbiasa dengan layanan berbasis teknologi.
Kementerian Haji dan Umrah perlu mengembangkan sistem digital terpadu untuk pendaftaran, pengelolaan data, pengaduan, dan pemantauan pelayanan. Namun, transformasi digital ini menghadapi hambatan berupa literasi digital yang belum merata di kalangan jamaah, keterbatasan infrastruktur teknologi, serta ancaman keamanan siber yang bisa mengganggu
integritas data jamaah.

4. Tantangan Diplomasi Internasional
Diplomasi dengan Arab Saudi tetap menjadi tantangan klasik. Posisi Indonesia sebagai pengirim jamaah terbesar di dunia tidak otomatis menjamin fleksibilitas kebijakan Saudi. Selain itu, dinamika politik Timur Tengah, isu keamanan regional, dan kepentingan ekonomi Saudi
dalam pengelolaan haji dapat memengaruhi kebijakan yang berlaku bagi jamaah Indonesia.

Di sini, Kementerian Haji dan Umrah harus membangun kapasitas diplomasi
profesional yang tidak hanya mengandalkan pendekatan formal antarpejabat, tetapi juga mengembangkan strategi diplomasi publik, membangun aliansi dengan negara pengirim jamaah lain, serta memanfaatkan forum internasional untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

5. Tantangan Integrasi Ekonomi dan Pemberdayaan Nasional
Sisi ekonomi haji dan umrah menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Jika tidak dikelola dengan baik, aliran dana jamaah akan terus menjadi “capital outflow” tanpa memberi manfaat signifikan bagi ekonomi nasional. Tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan
keterlibatan BUMN, UMKM, dan industri halal lokal dalam rantai pasok penyelenggaraan haji dan umrah.
Selain itu, Kementerian Haji dan Umrah juga harus menghadapi resistensi dari kelompok kepentingan yang selama ini menikmati keuntungan besar dari sistem lama. Reformasi dalam tata kelola ekonomi haji dan umrah akan berhadapan dengan oligopoli perusahaan besar, baik domestik maupun asing, yang mungkin menolak perubahan yang lebih inklusif.

6. Tantangan Sosial dan Persepsi Publik
Terakhir, kementerian ini menghadapi tantangan sosial berupa tingginya ekspektasi masyarakat. Banyak yang berharap bahwa kehadiran kementerian baru otomatis memperpendek
masa tunggu haji, menurunkan biaya, dan meningkatkan pelayanan. Jika ekspektasi ini tidak segera diimbangi dengan hasil nyata, risiko kekecewaan publik sangat besar, yang pada
gilirannya bisa meruntuhkan legitimasi kementerian baru ini.
Untuk itu, Kementerian Haji dan Umrah harus mampu membangun komunikasi publik yang baik, memberikan edukasi kepada masyarakat, serta secara berkala melaporkan capaian dan kendala yang dihadapi. Transparansi komunikasi akan membantu membangun kepercayaan
publik, sekalipun hasil perbaikan membutuhkan waktu.
Dengan demikian, tantangan-tantangan tersebut bukan hanya berupa hambatan teknis, tetapi juga bersifat struktural, politis, dan kultural. Jika mampu menjawab tantangan ini dengan
strategi tepat, Kementerian Haji dan Umrah dapat menjadi simbol reformasi birokrasi yang nyata. Namun jika gagal, kementerian ini berisiko hanya menjadi beban baru dalam tubuh birokrasi Indonesia.

Penutup
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah sebagai entitas baru di Indonesia merupakan sebuah langkah strategis yang sarat dengan makna, baik dari perspektif pelayanan publik, tata
kelola kelembagaan, maupun diplomasi antarnegara. Keputusan ini tidak sekadar dimaknai sebagai pemisahan administratif dari Kementerian Agama, tetapi lebih dari itu: sebuah upaya
untuk mempertegas komitmen negara dalam menghadirkan layanan terbaik bagi jamaah haji dan umrah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dari perspektif kelembagaan, kementerian ini lahir untuk menjawab kebutuhan nyata: perlunya fokus dan spesialisasi dalam mengelola ibadah haji dan umrah yang kompleks, multidimensional, dan melibatkan jutaan warga negara. Dengan mandat khusus, kementerian baru ini diharapkan dapat menutup celah kelemahan yang kerap muncul akibat beban kerja Kementerian Agama yang terlalu luas. Urgensi ini makin kuat jika dihubungkan dengan tantangan masa depan, seperti digitalisasi layanan, dinamika kebijakan Kerajaan Arab Saudi, hingga meningkatnya ekspektasi jamaah akan layanan yang transparan dan profesional.
Dari perspektif transparansi dan akuntabilitas, kehadiran kementerian baru membuka peluang untuk memperkuat tata kelola birokrasi yang bersih dan bebas dari praktik koruptif.
Layanan haji dan umrah, yang selama ini kerap dipandang rawan penyimpangan karena menyangkut alokasi dana besar, membutuhkan sistem pengawasan dan evaluasi yang lebih ketat.
Kementerian baru harus mampu menjadi teladan dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Dari perspektif diplomasi, pembentukan kementerian ini sekaligus memperluas instrumen politik luar negeri Indonesia di kawasan Timur Tengah. Hubungan dengan Kerajaan Arab Saudi,
yang sebelumnya dikelola lintas lembaga, kini dapat dilakukan secara lebih intensif dan spesifik.
Hal ini penting, karena kuota haji, regulasi umrah, hingga kerja sama pendidikan dan ekonomi keumatan sering kali membutuhkan jalur diplomasi yang kuat dan berkesinambungan.
Dari perspektif ekonomi, kementerian ini berpotensi menjadi motor penggerak baru.

Industri haji dan umrah tidak hanya terkait ibadah, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang melibatkan transportasi, perhotelan, katering, perlengkapan ibadah, hingga jasa keuangan syariah. Dengan tata kelola yang tepat, kementerian ini dapat memperkuat ekonomi umat
sekaligus memberi dampak positif bagi perekonomian nasional.
Namun demikian, berbagai tantangan serius juga menghadang. Mulai dari resistensi kelembagaan, potensi tumpang tindih kewenangan, keterbatasan sumber daya manusia, hingga
tuntutan pelayanan jamaah yang semakin tinggi. Semua ini hanya dapat diatasi jika Kementerian Haji dan Umrah membangun fondasi kelembagaan yang kokoh, menjunjung prinsip meritokrasi,
serta membuka ruang partisipasi publik dalam setiap proses kebijakan.
Dengan demikian, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang reformasi pelayanan ibadah umat Islam di
Indonesia. Keberhasilan lembaga ini akan sangat ditentukan oleh komitmen politik, kapasitas birokrasi, dan dukungan masyarakat luas. Jika mampu dikelola dengan baik, kementerian ini
bukan hanya akan menjadi instrumen pelayanan ibadah yang lebih baik, tetapi juga simbol komitmen negara dalam melayani rakyat secara profesional, transparan, dan berkeadilan.

*) Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa
Cendana yang sedang melanjutkan studi pada Program Doktor Administrasi Publik, Universitas
Hasanuddin

banner 468x60
banner 468x60
error: Content is protected !!