FokusNews.online, – Malaka – Topik: perempuan dalam masyarakat kelas, Part II
Oleh: Anime
“Banyak hal yang tertinggal di dunia ini yang harus dihancurkan dengan api dan baja. Perempuan dengan kemampuannya akan merubah keadaan”
Sistem sosial masyarakat tak lahir dengan sendirinya tetapi hasil dari pergolakan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Rousseau menyatakan bahwa kekuatan sosial dan politik tidak alami tetapi merupakan hasil peradaban. Bahwa, segala sesuatu yang bergerak akan terus mengalami pergerakan. Sedangkan yang diam akan bergerak, berubah karena ada dalam ruang dan waktu yang bergerak.
Feodalisme dan kapitalisme yang telah mengakar pun hasil dari kekuatan, materi yang bergerak, yang saling berkontradiksi atau bertantangan. Untuk memahami penindasan terhadap perempuan, harus memahami asal usulnya dan hukum hukum materialnya, supaya menyingkirkan pemahaman-pemahaman semu yang selama ini disebarluaskan, kemudian dianggap sebagai ideologi yang dominan, yang berkepentingan mempertahankan penindasan.
Jika memang kelas, penindasan terhadap perempuan pernah tidak ada, maka harapan rasional untuk mengembalikan keadaan yang serupa, perjalanan sejarah tak boleh berhenti, terus diarahkan pada dialektika yang mengabdi pada kebenaran. Keraguan akan kebenaran bahwa perempuan adalah makhluk yang pernah tak mengalami penindasan adalah produk berpikir yang bersumber dari kegagalan untuk berpikir ilmiah.
Para antropolog menemukan bahwa kendali atas adat, peraturan, penghormatan dan kekuasaan pernah dianugerahkan kepada perempuan. Berpikirlah bahwa perempuan adalah kaum yang menemukan pertanian dan anyaman. Berpikirlah bahwa perempuan adalah penemu sistem produksi ketika laki-laki terdesak dalam berburu. Peran dan kedudukan perempuan masa lampau tidaklah seperti keadaan perempuan saat ini yang mengalami diskriminasi. Perempuan dianggap sebagai pelengkap dalam bumi manusia.
Penindasan adalah sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat kelas, menyatu dalam feodalisme dan kapitalisme. Karenanya, menguliti ketertindasan perempuan tak lain juga menguliti feodalisme dan kapitalisme itu sendiri. Kedua sistem tersebut adalah sumber dari segala permasalahan. Sehingga perlu disadari bahwa ketertindasan perempuan bersifat ideologis.
Gimenez menegaskan bahwa masyarakat kelas adalah sumber pokok penindasan terhadap perempuan, karena itu tak boleh direduksi dengan pemikiran-pemikiran yang liberal. Pemikiran yang mengabdi pada kepentingan kelas. Sedangkan, Anima berpendapat bahwa apa yang dialami perempuan hari ini tak jauh berbeda dari apa yang digambarkan dalam cerpen gadis pantai. Perempuan kaki gunung pun mengalaminya, bahkan dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda.
Feodalisme dengan ciri kepemilikan atas tanah, kekuasaan dan perempuan, membentuk kekuatan yang terpusat pada segelintir orang. Perempuan jadi objek kesenangan, mereka memiliki istri lebih dari satu. Perempuan diposisikan sebagai pelayan dikasur, perempuan sebagai sumber kenikmatan.
Tubuh perempuan sebagai alat reproduksi yakni perempuan yang tak mengandung sering mengalami pengucilan, kemudian dijadikan alasan pembenar untuk mencari pasangan lain. Tubuh perempuan dijadikan sebagai alat nafsu atau objek seksual, fisik atau bentuk tertentu dari perempuan dijadikan daya pikat. Selain itu, perempuan juga dijadikan sebagai alat tukar dalam kebudayaan mahar perkawinan, adanya perkawinan usia dini, pemaksaan perkawinan akibat jeratan hutang atau kalah perang.
Perempuan sering mengalami beban kerja ganda yakni perempuan yang bekerja diluar rumah tangga tidak berkurang beban pekerjaan rumah tangga. Perempuan semakin tertekan bila ditambah lagi dengan keinginan atau pemaksaan seksual. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Benar-benar miris.
Akhir-akhir ini terdapat kenyataan yang baru, massif terjadi yakni, perempuan terjebak dalam hutang kredit mingguan. Mayoritas dari mereka adalah ibu rumah tangga, yang kadangkala saling sindir akibat terkendala membayar angsuran. Mereka sering pula jadi korban tipu muslihat politisi. Politisi tanpa orientasi perjuangan pembebasan perempuan, hanya memandang perempuan sebagai objek eksploitasi. Bagi mereka perempuan adalah makhluk yang layak untuk dinomorduakan.
Sementara itu, mereka yang bekerja bersinggungan dengan modal pun tak luput dari eksploitasi. Mereka menanggung beban kerja yakni harus bekerja lebih dari delapan jam setiap hari, korban dari penerapan sistem shift, tidak ada cuti haid dan lain sebagainya. Beban kerja yang demikian dibarengi dengan upah yang rendah atau murah. Padahal tenaga mereka memberi sumbangsih nilai lebih atau keuntungan bagi pemilik modal.
Mereka yang bekerja di toko dan pabrik mengalami masa-masa awal perkembangan kapitalisme. Mereka yang dulunya bekerja dalam urusan rumah tangga, ataupun melayani kaum feodal, kini terjun masuk melayani modal. Mereka keluar dari penindasan yang satu, kemudian masuk ke yang lainnya. Mereka dirantai. Kemanusiaan perempuan lenyap dalam masyarakat kelas.