Kupang – Dalam rangka menindaklanjuti eksaminasi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dilakukan di Universitas Gajah Mada terkait dengan Skandal Mahkamah Keluarga, Keluarga Mahasiswa Katolik Fakultas Hukum UNDANA Kupang pun turut menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk kurang lebih sama dalam menelisik lebih komprehensif terhadap Implikasi dari Putusan MK yang semenjak dikeluarkan telah menimbulkan keriuhan dan kegaduhan tiada henti dan tentunya terindikasi mengancam stabilitas demokrasi
Pada helatan diskusi publik kali ini, terdapat 3 narasumber yang menjadi pembicara. Diantaranya ada Dr. Rudi Rohi, S.H., M.Si selaku dosen Prodi ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNDANA, Dr. Kotan Y. Stefanus, S.H., M.Hum selaku dosen Fakultas Hukum UNDANA dan Jeffry A. Gala sebagai perwakilan dari KPU Provinsi NTT Divisi Hukum dan Pengawasan.
Sehubungan dengan itu, hadir pula Dr. Saryono Yohanes S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan 2 sebagai perwakilan Pimpinan Fakultas Hukum dalam memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan tersebut yang dibarengi juga dengan opening speach yang disampaikan oleh Ketua Umum KMK St. Stanislaus Fakultas Hukum UNDANA, Felix Emanuel Koen, yang menegaskan langkah sigap yang diambil oleh KMK untuk menyelenggarakan diskusi publik ini merupakan suatu upaya untuk memelihara signyal intelektual dan kembali memunculkan nalar kritis dalam memanifestasikan 3 Tridarma Perguruan Tinggi yakni, Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.
Selama berlangsung kegiatan, setiap pembicara menyampaikan ikhtisar penting perihal dampak dari pada Putusan MK berdasarkan pandangan sesuai bidang masing-masing.
Dr. Rudi, dalam sesi diskusi, mengatakan bahwa “Putusan MK yang kita ketahui hari ini, sangat kacau balau dan sangat aneh. Yang dimana secara konseptual, konstruksi dasar yang dibangun putusan sebelumnya sirna. Putusan tersebut menyatakan bahwa usia 40 tahun dapat dinegasikan sepanjang telah pernah memegang jabatan hasil dari proses pemilihan umum (elected official). Alasan yang digunakan hanya dengan menyamakan antara sesama jabatan yang memiliki proses pemilihan secara langsung, tanpa kejelasan alasan hukum yang memadai.”
Hal yang kurang lebih seirama pun, disampaikan juga oleh Dr. Kotan bahwa “Sebenarnya mudah melacak hal-hal yang inkonsisten dalam putusan ini. Salah satunya adalah dengan ditampilkan ketidakonsistenan MK dalam hal memperhatikan legal standing. Bisa dibayangkan, MK yang biasanya lebih ketat dengan legal standing, tiba-tiba menerima legal standing “hanya” dengan alasan pemohon adalah seorang walikota Solo yang menurut pemohon telah memajukan daerah Solo, sehingga patut diperjuangkan untuk lebih memperjuangkan negeri ini melalui posisi Presiden atau Wakil Presiden. Dan ironisnya, MK tetiba menerima posisi legal standing yang tak elaboratif tersebut. Dan terakhir, sebagai tinjauan yuridis, Jeffry A. Gala sebagai representasi penyelenggara PEMILU, pun turut menjelaskan tahapan-tahapan secara berurutan mulai dari pasca putusan MK hingga Revisi PKPU yang telah mendapat persetujuan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR RI bersama KPU Pusat.
Terpantau, berlangsungnya diskusi publik begitu menarik dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh beberapa penanya yang bernotabene sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum UNDANA Kupang bersamaan dengan rasa bahagia dikarenakan telah mendapat begitu banyak ilmu yang telah disampaikan dari dialog interaktif dalam diskusi publik ini sebagai momentum transformasi pengetahuan secara holistik.