Oleh:Ridho Seran
Jurnalis FokusNews
Malaka – Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berperan serta dalam memutuskan keputusan. Sejalan dengan ini, Serenson (2014:1) menyebutkan bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Maka dari itu, suatu Negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis akan memberikan ruang yang luas kepada rakyatnya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
Istilah Demokarsi pertama kali dikemukan oleh Plato (Aristocles) sekitar tahun 427-447 SM (Sunarso, 2018:3). Kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos artinya rakyat dan Kratos berarti pemerintahan, bila didefinisikan menjadi “pemerintahan oleh rakyat”, rakyat yang dimaksudkan disini adalah kaum miskin. Aristoteles memberikan pandangan serupa bahwa demokrasi suatu pemerintahan untuk kebaikan kaum miskin
Namun, kenyataan yang terjadi adalah rakyat ditindas dan diperbodoh, hanya untuk meraih kekuasaan, alhasil rakyat miskin tetap miskin dan yang kaya semakin kaya. Bukankah ini fakta?
Saya mengajak untuk kita sedikit merenung kembali Pileg dan Pilpres yang telah usai, meski hasil penghitungan suara belum usai. Apakah para anggota caleg yang dipilih itu akan benar-benar memihak rakyat? Ataukah hanya untuk kekuasaan semata? Jawabannya bisa “Ya” bisa “Tidak”. Sebab, oknum-oknum yang tidak memiliki Visi dan Misi untuk rakyat telah menjadikan politik sebagai sebuah bisnis.
Mereka tidak memiliki program yang pro terhadap rakyat, mereka tidak punya apa-apa untuk meyakinkan rakyat, mereka hanya punya uang untuk menyewa rakyat demi memuluskan niat “jahat” mereka. Inilah yang disebut money politik atau Politik Uang, dan politik uang itu adalah pembodohan rakyat. Bukankah begitu?
Sebagai generasi penerus yang mencintai Tanah Air, saya secara pribadi akan siap lawan oknum-oknum yang melakukan politik kotor atau bisa juga disebut politik najis itu. Pertanyaannya, apa bisa?
Di era sekarang, apakah argumen yang logis dan benar bisa menyelesaikan masalah politik uang? Bukankah suara kritis dari para akademisi hilang ditelan bumi? Lalu bagaimana cara melawan agar politik kotor ini segera musnah dari Bumi Indonesia ini?
Setelah saya pikir-pikir, rasanya berat. Sebab, teman saya pernah mengatakan kepada saya ketika kami sedang ngopi alias ngobrol pintar, “Bung, kita tak bisa melawan cara-cara kotor itu hanya dengan nyali, karena nyalimu tidak akan bisa mengalahkan Rupiah yang ada di dalam amplop coklat,” katanya
Dia lalu diam sambil menghisap rokoknya, meneguk secangkir kopi dan menghela nafas yang panjang seakan matahari tak ingin terbenam lagi, teman saya pun melanjutkan kata-katanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bung, Negeri ini telah rusak, bukan dirusak oleh Bangsa Asing, tetapi oleh Anak Bangsa sendiri demi mempertahankan jabatan dan kekuasaan mereka,”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus?” tanyaku
Sambil meneguk kopi dalam cangkir, dan menyempurnakan manisnya kopi dengan hisapan rokok, ia pun menjawab, “Bung, kita tidak mungkin berperang melawan anak bangsa sendiri, karena tempat kita akan ada dalam jeruji besi. Bung tahu sendiri kan, hukum di negeri ini bisa dibeli?
“Lalu kita harus bagaimana?” Tanyaku lagi
Namun jawabannya cukup mengagetkan. “Bung, kita tidak bisa melawan lagi, nyalimu dan nyaliku tak cukup untuk melawan, kita tunggu saja Kiamat yang sudah dijanjikan Yesus, hanya itu yang bisa kita harapkan,” katanya sambil menunduk, sebab tak bisa menahan tangis.
Ya, dari kata-kata teman saya, kita dibuat seolah-olah tidak berdaya untuk melawan politik kotor dan ketidakadilan yang terjadi.
Namun, sebagai pribadi, saya masih optimis bahwa politik kotor dan ketidakadilan masih bisa disembuhkan, khususnya di Kabupaten Malaka tercinta ini.
Contoh kasus yang terjadi sekarang adalah dugaan politik uang yang diduga dilakukan oleh seorang oknum caleg dari Partai PKB yang kasusnya sementara didalami oleh Bawaslu Kabupaten Malaka. Saya sungguh percaya bahwa kasus ini akan benar-benar diusut tuntas, sebab ini akan menjadi pelajaran berharga bagi rakyat maupun bagi politisi,
Perlu diketahui, Politik uang merupakan upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi pada proses politik dan kekuasaan bernama pemilihan umum. Hasil studi dari para akademisi tentang perilaku pemilih di tujuh Negara Afrika yang paling demokratis menurut Freedom House, menemukan fakta adanya jual beli suara.
Fenomena politik uang dalam masyarakat sudah menjadi suatu kebiasaan yang dimainkan oleh oknum kontestan politik, problem ini sudah sangat sulit untuk dihentikan. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin. Bukankah begitu?
Perlu dipahami bahwa politik uang adalah tindakan menodai demokrasi. Dengan adanya pertukaran uang dengan penentuan jabatan seseorang, maka pemilu berpotensi menghasilkan pemimpin berkualitas rendah, serta juga melemahkan politisi dan institusi demokrasi.
Dengan rendahnya kualitas pemimpin atau pemerintahan dipilih dengan transaksi politik uang berkemungkinan membuat kebijakan dan keputusan menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dengan dalih kepentingan rakyat. Di sisi lain juga, politik uang akan menimbulkan aktivitas korupsi dalam sistem pemerintahan. Korupsi yang sering terjadi adalah bentuk penyalahgunaan anggaran pemerintahan atas kerja sama antara eksekutif dan legislatif sehingga fungsi kontrol legislatif tidak berjalan maksimal. Korupsi tersebut dilakukan untuk mengembalikan modal pemilu (Cost Politic) yang telah dikeluarkan pada saat kontestasi pemilu.
(Nabi Yesaya berpesan, “Cukupkanlah dirimu dengan gajimu”)
Bersambung…