banner 468x60
BeritaMedan

DPRD Sumut Gelar Rapat Bahas Konflik Lahan antara PT. TPL dan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba

Avatar photo
1408
×

DPRD Sumut Gelar Rapat Bahas Konflik Lahan antara PT. TPL dan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba

Sebarkan artikel ini

Medan – DPRD Sumatera Utara menggelar rapat dengar pendapat di Komisi A hari ini untuk menindaklanjuti aksi aliansi gerakan rakyat yang mendesak penutupan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) pada 18 April 2024. Rapat tersebut dipimpin oleh Rudi Alfhari Rangkuti, SH, MH, dan dihadiri oleh sejumlah pejabat penting termasuk Kapolres Toba, Kapolres Taput, Kapolres Simalungun, Kadis Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Badan Pemanfaatan Kawasan Hutan Negara, Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, UPT KPH II wilayah Pematang Siantar, serta perwakilan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL.

Dalam sambutannya, Rudi Alfhari Rangkuti menyampaikan bahwa DPRD Sumut telah mengundang PT. TPL, namun perusahaan tersebut tidak dapat hadir karena alasan yang tidak dijelaskan. Meskipun demikian, rapat tetap berlangsung untuk mendengarkan berbagai pihak terkait.

banner 468x60

Hengky Manalu dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL menjelaskan bahwa tumpang tindih lahan konsesi PT. TPL dengan lahan masyarakat adat telah menyebabkan konflik berkepanjangan di Kawasan Danau Toba. Pada tahun 2021, masyarakat adat telah bertemu dengan Menteri LHK di Parapat dan menyerahkan data bahwa terdapat sekitar 23 komunitas masyarakat adat yang wilayahnya tumpang tindih dengan konsesi PT. TPL yang dikeluarkan oleh KLHK. “Kasus seperti yang dialami Sorbatua Siallagan, yang dipenjara saat bertani di tanah leluhurnya, menunjukkan urgensi penataan batas kawasan hutan dengan lahan masyarakat adat,” tegas Hengky.

Baca Juga :  Bermodal Cantik Dengan Modus Kencan, Pasutri Curi 17 Sepeda Motor

Juniaty Aritonang dari Bakumsu menyoroti ketiadaan peraturan daerah yang melindungi masyarakat adat di Sumatera Utara sebagai salah satu penyebab utama konflik yang berkepanjangan.

Marta Manurung dari Komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan meminta agar masyarakat adat tidak diperhadapkan dengan kehadiran Brimob yang bersenjata lengkap. Ia juga mengharapkan pemerintah provinsi terlibat dalam penanganan kasus Sorbatua Siallagan, yang menurutnya tidak bersalah. “Kami hanya memanfaatkan tanah leluhur untuk menghidupi keluarga. Keberadaan Dolok Parmonangan sudah sebelas generasi di situ,” katanya.

Baca Juga :  Polres Samosir Mengamankan 2 Pelaku Kepemilikan Narkoba Jenis Sabu

Rocky Pasaribu dari KSPPM meminta negara untuk mengevaluasi kembali izin konsesi PT. TPL. Menurut data mereka, sekitar 33.000 Ha konsesi PT. TPL berada di kawasan hutan lindung dan Area Penggunaan Lain (APL) secara ilegal.

Sekretaris Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, Cavin Tampubolon, menekankan bahwa rapat ini membahas dampak negatif PT. TPL tidak hanya terhadap masyarakat adat tetapi juga terhadap lingkungan. “Masalah ini mendesak untuk diselesaikan. TPL merusak lingkungan dan peradaban masyarakat dengan menciptakan konflik berkepanjangan. Kita harus segera menindaklanjuti kesepakatan dari rapat dengar pendapat hari ini,” ujarnya.

Baca Juga :  Menikmati Pesona Tanjung Bastian: Destinasi Wisata Memikat di Pantai Utara Kabupaten Timor Tengah Utara  

Kesimpulan dari pertemuan ini meliputi:
1. Melakukan penataan batas konsesi PT. TPL dengan lahan masyarakat adat dengan melibatkan masyarakat, dimulai dari Kabupaten Simalungun hingga berlanjut ke Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Tapanuli Selatan, dan Dairi.
2. Mengubah pola pendekatan Kepolisian agar mengurangi ketakutan di tengah masyarakat tentang kehadiran Brimob di kampung.
3. Mengecek pelanggaran aktivitas PT. TPL di lahan 33.000 Ha yang berada di kawasan hutan lindung dan di Area Penggunaan Lain (APL).
4. Mendorong Pemerintah Kabupaten agar membuat peraturan daerah pengakuan masyarakat adat.

(Maruli Simanjuntak)

banner 468x60
error: Content is protected !!