Bumdesma (Badan Usaha Milik Desa Bersama) Kecamatan Sipahutar kini tinggal nama. Lembaga yang seharusnya menjadi wadah pemberdayaan ekonomi rakyat justru bangkrut dan meninggalkan tanda tanya besar. Padahal, sebanyak 25 desa telah menyetor Rp30 juta per desa, total Rp750 juta. Angka ini bukan sekadar catatan di atas kertas ini adalah uang rakyat, yang bersumber dari Dana Desa.
Lantas, ke mana uang itu menguap?
Dan yang lebih penting: di mana peran pemerintah kecamatan, BKAD (Badan Kerja Sama Antar Desa), serta 25 kepala desa yang menitipkan modal rakyatnya? Apakah semua hanya akan menutup mata dan berdiam diri?
Audit memang sudah dilakukan Inspektorat Tapanuli Utara. Namun, hingga perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, rakyat hanya disuguhi sunyi dan sepi. Hasil audit tak jelas, tindak lanjut tak ada, transparansi nihil. Apakah di usia 80 tahun kemerdekaan, rakyat masih harus menjadi korban eksploitasi berkedok pembangunan desa?
Padahal, secara hukum dan moral, tanggung jawab itu jelas:
Pemerintah Kecamatan Sipahutar adalah pembina sekaligus pengawas yang wajib memastikan tidak ada penyalahgunaan.
Para kepala desa bukan hanya penyetor modal, tetapi penjaga kepercayaan warganya.
Sayangnya, hingga kini mereka justru membisu. Diamnya para pemangku kepentingan hanya menambah kecurigaan publik, jangan-jangan ada yang menikmati, sementara rakyat dibiarkan merugi.
Bumdesma bukan sekadar soal modal usaha, melainkan simbol kepercayaan rakyat kepada pemerintah desa dan antar desa. Ketika simbol itu hancur, yang runtuh bukan hanya uang Rp750 juta, tetapi juga harga diri, kepercayaan, dan kredibilitas para pemimpin desa serta pemerintah kecamatan.
Jika ini dibiarkan, apa bedanya 80 tahun kemerdekaan dengan masa eksploitasi kolonial? Bedanya, dulu bangsa asing yang menindas, kini justru rakyat bisa “dikerjai” oleh lembaganya sendiri.
Oleh : Haposan Simanjuntak
Ketua PAC GAMKI Sipahutar