BITUNG — Polemik pemutusan hubungan kerja di tubuh CV. Multi Rempah Sulawesi kembali menuai sorotan.
Kali ini, kritik datang dari Ketua DPC KSPSI Kota Bitung, Fahry Widu Lamato, S.H., yang menilai langkah perusahaan memberhentikan sejumlah pekerja tanpa pemberian pesangon sebagai tindakan yang mengabaikan prinsip perlindungan tenaga kerja.
Menurut Fahry, perusahaan memang memiliki dasar hukum untuk tidak memberikan pesangon apabila pekerja terbukti melakukan pelanggaran berat. Namun ia menegaskan bahwa hal tersebut bukan alasan untuk menghapus seluruh hak pekerja yang telah diatur dalam undang-undang.
“Jika ada pelanggaran pidana, pesangon bisa gugur. Tetapi pekerja tetap harus memperoleh UPMK dan UPH sesuai ketentuan UU No. 6 Tahun 2023 dan PP No. 35 Tahun 2021. Hak dasar itu tidak dapat diabaikan,” tuturnya.
Pernyataan ini muncul merespons kegelisahan para pekerja yang diberhentikan, termasuk Nelji Larengam, yang sebelumnya menyampaikan bahwa dirinya siap mempertanggungjawabkan jika benar melakukan kesalahan. Namun hingga kini, tudingan pelanggaran fatal yang disebut-sebut belum pernah terbukti secara jelas.
“Kami dibilang bersalah, tapi tidak pernah ditunjukkan buktinya. Kalau memang salah, kami siap diproses. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan,” ungkap Nelji.
Fahry menilai pernyataan tersebut mencerminkan tekanan psikologis yang dialami pekerja ketika menghadapi ketidakpastian status hukum dan ekonomi.
“Hanya orang yang benar-benar terdesak yang mengucapkan hal seperti itu. Negara dan lembaga terkait seharusnya hadir memberi kepastian, bukan malah membuat pekerja merasa sendirian,” ujarnya.
Ia meminta perusahaan, Disnaker Bitung, dan Komisi I DPRD untuk segera membangun ruang dialog yang objektif dan tidak dipengaruhi kedekatan personal antar pihak.
“Hubungan emosional antara kuasa hukum perusahaan dan pejabat Disnaker seharusnya mempercepat penyelesaian, bukan sebaliknya. Pekerja tidak boleh menjadi korban tarik-menarik kepentingan,” tambahnya.
Dukungan terhadap pekerja juga disampaikan Ketua POLA, Puboksa Hutahaean, yang mengajak semua pihak kembali pada nilai budaya Minahasa, Sitou Timou Tumou Tou, sebagai pijakan penyelesaian masalah.
“Kalau torang benar-benar memahami filosofi itu, persoalan seperti ini tidak akan berlarut. Yang dibutuhkan hanya keberpihakan pada kemanusiaan,” kata Puboksa.
Puboksa juga mengkritisi sikap kuasa hukum perusahaan yang menurutnya memiliki rekam jejak sebagai pembela buruh, namun kini berdiri di sisi yang berseberangan.
“Kalau mau bilang pekerja salah, tunjukkan buktinya. Kalau tidak bisa, ya bayarkan hak-hak mereka. Itu bentuk keadilan paling sederhana,” tegasnya.
Puboksa menekankan bahwa penyelesaian tuntas bukan hanya penting untuk pekerja yang sudah di-PHK, tetapi juga untuk mencegah terulangnya kasus serupa terhadap pekerja aktif. (Lan)















