Lembata – Pemerintah Kabupaten Lembata menuai sorotan tajam dari parlemen lokal. Salah satu poin dalam laporan 100 hari kerja Pemerintah Lembata di bawah kepemimpinan Bupati Kanisius Tuaq dan Wakil Bupati H. Muhamad Nasir, dinilai menabrak prosedur hukum yang berlaku.
Yang dipersoalkan adalah kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Lembata dengan Universitas Bosowa Makassar, yang diteken pada 29 April 2025. Penandatanganan kesepakatan bersama itu mencakup pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Namun ironis, kerja sama yang diklaim sebagai lompatan strategis itu ternyata dilakukan tanpa sepengetahuan dan pelibatan DPRD Lembata.
“Pertanyaannya, apa dasar hukum kerja sama ini? Apakah ini murni inisiatif Bupati dan Wakil Bupati? Mengapa DPRD tidak dilibatkan sama sekali?” cetus Wakil Ketua DPRD Lembata, Langobelen Gewura Fransiskus, Senin (21/7).
Langobelen, yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Lembata, menyebut langkah itu sebagai bentuk pembangkangan prosedural. Ia merujuk pada regulasi utama yang mengatur kerja sama antar daerah, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 28 Tahun 2018, serta Permendagri Nomor 22 Tahun 2020.
“Kerja sama lintas daerah atau lembaga pendidikan, terlebih jika berdampak pada kebijakan anggaran atau pelayanan publik, wajib melewati mekanisme yang melibatkan DPRD. Itu perintah undang-undang,” ujarnya.
Langobelen menegaskan, DPRD akan segera memanggil Kanisius Tuaq dan H. Muhamad Nasir untuk meminta klarifikasi secara resmi. Jika terbukti melanggar, kata dia, lembaga legislatif akan mengambil langkah sesuai konstitusi.
“Kami tidak akan membiarkan pemerintahan ini berjalan tanpa kontrol. Jangan abai aturan demi pencitraan sesaat,” tegasnya.
Lebih jauh, politisi senior dari PDI Perjuangan ini juga menyindir beberapa program unggulan 100 hari kerja pemerintah yang dianggap tidak menyentuh akar persoalan masyarakat. Salah satunya, program produksi ayam beku dan pembelian jagung lokal.
“Ini cuma senam program. Tidak ada dampak nyata bagi petani dan peternak kita. Semua dibungkus seremonial, tapi minim substansi,” tukas Langobelen.
Ia menilai, narasi pembangunan 100 hari yang dijajakan Pemerintah Lembata sejauh ini lebih bertumpu pada aktivitas simbolik ketimbang perubahan struktural yang menyentuh kebutuhan rakyat di lapangan.
“Yang dibutuhkan masyarakat adalah hasil, bukan spanduk dan panggung acara,” tutupnya.
(Kevin)